Rabu, 13 Mei 2020

Kisah Sang Mursyid

Sepenggal Kisah Kyai Tar 
(Syaikh Muhtarullah Al Mujtaba Qoddsallah Sirruhuu)

Kiai Muchammad Muchtar Muthi lahir pada hari Ahad Kliwon menjelang fajar tanggal 28 Robiul Akhir 1347 H, bertepatan pada tanggal 14 Oktober 1928, di Dukuh Losari Rowo, Desa Losari, Kecamatan Ploso Kabupaten Jombang. Ia adalah putra keenam dari pasangan Haji Abdul Muthi dan Nyai Nashicah. Pada hari kelahirannya, menurut cerita Ibunda Nyai Nasichah dibarengi dengan suatu bencana alam yang melanda Jombang. Penduduk menjadi ribut karena berpuluh-puluh rumah hancur berantakan. Puluhan manusia terenggut jiwanya akibat kejadian itu. Orang-orang menyebut kejadian itu dengan sebutan Prahoro yang berarti keributan. Hampir semua rumah-rumah penduduk hancur diterpa angin yang sangat dahsyat. Hanya ada sebuah rumah yang masih berdiri tegak saat itu yaitu rumah tempat kelahiran kiai Muchammad Muchtar Muthi dilahirkan.

Kiai Muchammad Muchtar Muthi memiliki berbagai macam Hariqatul 'adah atau sering disebut dengan hal-hal diluar kebiasaan. Saat ia masih kecil memiliki perilaku dan kebiasaan yang tidak biasanya dimiliki oleh seorang anak kecil. Adapun Hariqatul 'adahnya antara lain sebagai berikut:

Tidak menyukai makan nasi dan minum air putih Tidak seperti orang Indonesia pada umumnya yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Justru kiai Muchammad Muchtar Muthi tidak suka makan nasi. Bahkan bertahun-tahun ia tidak pernah makan nasi putih. Makanan yang ia konsumsi saat itu berupa kue Brubi (sejenis Nagasari, makanan pisang yang dibungkus tepung dan daun pisang). Termasuk hal aneh lagi ia juga tidak suka minum air putih. Ia lebih suka minum teh dalam kesehariannya. Namun ketika ia berusia 8 tahun sudah mulai makan nasi.

Berani dan Cerdik Sejak kecil kiai Muchammad Muchtar Muthi memang tidak mengenal rasa takut meski ia sebenarnya juga sering menemui hal-hal yang menakutkan seperti melihat hantu, melihat jangkrik yang aneh. Kecerdikannya juga sudah tertanam mulai kecil, hal ini terlihat ketika ia menggoda polisi Belanda, ia juga pernah mengetahui ibunya pergi keluar rumah padahal ibunya tidak izin, selain itu ia pernah menggembosi ban motor pasangan suami istri karena tidak membawakannya kue dan lain-lain.

Gemar Wayang Kulit Sesuatu yang aneh lagi yang dimiliki kiai Muchammad Muchtar Muthi adalah menyukai wayang kulit. Jarang sekali anak kecil menyukai wayang kulit, kebanyakan orang dewasa yang lebih menyukai. Kegemaran ia terhadap wayang kulit memang luar biasa. Tak jarang ia rela berjalan kaki menempuh jarak yang cukup jauh hanya sekedar melihat pertunjukan wayang kulit. Selain itu, ia juga mempelajari tentang seluk beluk wayang kulit dan juga menjadi wiyogo atau panjak wayang kulit.

Pendidikan

Meskipun bersekolah di lembaga pendidikan formal adalah suatu hal yang tidak disukai oleh kiai Muchammad Muchtar Muthi tetapi akhirnya ketika berusia lebih dari 8 tahun dengan berat hati akhirnya ia mau bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Ngelo yang berjarak kurang lebih 2 km sebelah selatan Losari. Masa belajar di Madrasah Ibtidaiyah Ngelo, Losari berakhir karena dibubarkan oleh Jepang yang masuk Indonesia. Kemudian menginjak usia 15 tahun, kiai Muchammad Muchtar Muthi memasuki babak baru dalam kehidupannya yaitu nyantri di pondok pesantren Rejoso (Darul Ulum) Peterongan Jombang. Ketika nyantri di pondok tersebut ia mampu menghafal Alquran berjumlah 12 Juz. Sehingga jika ditotal dengan jumlah hafalan yang sebelumnya ia ke Rejoso 6 Juz, maka semua hafalannya 18 juz.

Ketika di pondok Rejoso ia selalu membuat ulah dan masalahmasalah yang mengganggu orang-orang yang ada di pondok tersebut. Akhirnya, pengurus pondok melakukan sidang dengan kesimpulan akan mengeluarkan kiai Muchammad Muchtar Muthi pada hari Sabtu. Namun,kiai Muchammad Muchtar Muthi lebih dulu keluar pada hari Jumat karena itu lebih baik daripada menunggu dikeluarkan. Setelah keluar dari pondok Rejoso, ia pindah ke pondok pesantren Tambak Beras (Bahrul Ulum). Sebagaimana di pesantren Rejoso, di Tambak Beras pun ia tidak ada minat untuk mempelajari pelajaran-pelajaran yang ada di sana. Selama di sana ia hanya menghabiskan waktu untuk menghafal Alquran. Disamping mempelajari ilmu keagamaan ia juga mempelajari ilmu kanuragan kepada H. Ahmad di Krempeng desa Kembangan sebelah utara Trosobo Sidoarjo.

Kiai Muchammad Muchtar Muthi nyantri di pondok Tambak Beras juga tidak terlalu lama yaitu selama kurang lebih 8 bulan. Pesantren Tambak Beras bagi kiai Muchammad Muchtar Muthi tetap memiliki kesan tersendiri, bahkan setelah keluar dari sana ia masih tetap berusaha menjalin komunikasi dengan pesantren. 

Perjuangan Hidup

Pada hari Jumat Pahing tepatnya tanggal 21 Syawal 1367 H atau tanggal 27 Agustus 1948 H. Abd. Muthi atau Cholil atau Ischak, abah dari kiai Muchammad Muchtar Muthi putra dari kiai Ahmad Syuhadak dipanggil menghadap ke hadirat Allah Swt. dengan meninggalkan belasan anak dari dua orang istri yakni Nyai Marfuah dan Nyai Nasichah. Sewaktu H. Abdul Muthi wafat, usia kiai Muchammad Muchtar Muthi menapaki usia 20 tahun, usia yang boleh dibilang relatif dewasa. Kondisi ekonomi keluarga kiai Muchammad Muchtar Muthi sepeninggalan wafat abahnya sangat jauh berbeda bila dibanding dengan pada saat abahnya masih hidup. Hampir tidak ada satupun perabot rumah tangga yang bisa dijual untuk menutupi kebutuhan keluarga. Sebab utamanya adalah semua harta kekayaan H. Abdul Muthi telah dikuasai dan selanjutnya dijual habis oleh kakaknya (dari ibu sebelumnya) yang bernama H. Abdul Aziz sesaat setelah H. Abdul Muthi meninggal.

Guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, kiai Muchammad Muchtar Muthi dan adiknya yang bernama Muchayyarun mencoba mengadu nasib berjualan ikan asin dan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Tidak hanya itu, disela-sela ia berjualan ikan asin, ia juga menyempatkan diri untuk berjualan daging yang diambil dari kakak perempuan, putri pertama Nyai Nasichah yang bernama Mustiwayah. Perjalanan ia untuk mencarikan nafkah Ibu dan adik-adiknya dikerjakan dengan tabah hati, meskipun harus menghadapi banyak hambatan.

Kiai Muchammad Muchtar Muthi juga semangat dalam melawan penjajah Indonesia pada saat itu. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, kiai Muchammad Muchtar Muthi sangat gembira sekali. Dua tahun kemudian tepatnya pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda mencoba melakukan penjajahan babak kedua dengan sebutan Agresi Militer ke-1. Namun, Allah Swt. tidak meridhoi segala usaha yang dilakukan Belanda. Setahun kemudian Belanda mencoba menebus kembali dengan memanfaatkan situasi yang tidak stabil setelah adanya pemberontakan PKI 1948 yang didalangi oleh Muso, Belanda melakukan Agresi Militer ke-2. Namun, lagi-lagi Allah Swt. tidak meridhai usaha Belanda. Adanya kejadian itu dengan sendirinya membangkitkan semangat dalam diri kiai Muchammad Muchtar Muthi untuk mempertahankan negara Indonesia dan berusaha selalu mencintai tanah air. Segeralah ia ikut bergabung dengan pasukan-pasukan gerilya di daerah Ploso seperti Pojok Klitih dan Mlaten.

Kiai Muchammad Muchtar Muthi juga melakukan pengembaran belajar ilmu Tasawuf. Disela-sela pengembaraan ini, ia bertemu dengan banyak ulama, khususnya ulama-ulama sufi. Salah satu ulama yang ia temui dan kemudian menjadi maha guru tarekat Shiddiqiyyah adalah syekh Syueb Jamali. Dari syekh Syueb Jamali inilah kiai Muchammad Muchtar Muthi mendapatkan ajaran tarekat Shiddiqiyyah.

engikut Tarekat Shiddiqiyyah saat itu cukup menarik karena berasal dari kalangan orang-orang yang menderita penyakit kronis, seperti bekas pecandu minuman keras dan mereka yang dibebani oleh perasaan dosa atau frustasi karena kegagalan dalam bidang politik dan perdagangan. Kiai Muchammad Muchtar Muthi memberikan resep dan saran-saran praktis agar mereka memperkaya dan memperhalus kehidupan spiritualnya. Pertama kali mereka harus bertaubat, kemudian mereka diajarkan melakukan zikir secara rutin, sesudah melakukan sholat wajib.Tarekat Shiddiqiyyah yang dipimpin oleh kiai Muchammad Muchtar Muthi dikenal luas sebagai ahli pengobatan Batin.44 Ajaran-ajaran tauhid disajikan dalam bentuk yang banyak disesuaikan dengan budaya masyarakat Jawa, dan amalan-amalan sufi yang diajarkan terdiri dari membaca ratib-ratib panjang, yang diikuti dengan latihan pengaturan nafas.

Tarekat Shiddiqiyyah mampu berkembang secara positif di masyarakat atas kemampuannya meredusir perubahan dan perkembangan masyarakat dalam sistem ajarannya. Pokok ajaran Tarekat Shiddiqiyyah lebih menekankan pola hubungan hamba kepada Allah Swt. dan Rasulullah saw., melalui amaliyah zikir dan wirid asma Allah maupun doa yang terkandung dalam wahyu Alquran salah satunya Doa Kautsaran.

Tarekat Shiddiqiyyah telah berkembang menjadi suatu kelompok yang memiliki sejumlah pengikut, norma, peranan sendiri sebagaimana terlihat dalam ajaran dan aktivitasnya. Terlepas dari perjalanan sejarahnya sedikit banyak diwarnai konflik dengan kelompok tarekat lain maupun masyarakat islam lainnya. Sebenarnya tarekat ini memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui model-model kepemimpinan, karakteristik pengikut, usaha-usaha pendidikan, organisasi dan usaha-usaha perekonomian yang dilakukannya.

Mendirikan Pondok Pesantren 

Di desa Losari, kecamatan Ploso, kabupaten Jombang inilah kiai Muchammad Muchtar Muthi mulai menyebarkan Doa Kautsaran ke beberapa orang yang ingin mengamalkan bersamanya. Saat awal ia merasa kesulitan untuk mengajak warga untuk mengamalkan Doa Kautsaran. Warga Losari termasuk masyarakat yang abangan (masyarakat yang tidak mencerminkan nilai-nilai agamis), sehingga masih belum mengenal betul akan agama Islam kebanyakan dari mereka menganut aliran mistis. Hal ini terjadi karena masyarakat belum pernah tersentuh dengan ajaran-ajaran Islam.

Lokasi daerah Losari, kecamatan Ploso, kabupaten jombang ini jauh dari pondok pesantren. Berbeda dengan Jombang bagian Selatan justru banyak sekali berdiri pondok pesantren. Seiring berjalannya waktu, akhirnya perubahan pun terjadi di daerah ini. pada saat pasukan Diponegoro mengalami kekalahan, banyak diantara prajuritnya hijrah ke arah Jawa Timur dan salah satunya ke daerah Losari Ploso dan sekitarnya. Semenjak saat itu sedikit demi sedikit daerah Losari Ploso mengalami perubahan dalam hal keagamaan. Selain itu juga ditandai dengan berdirinya pondok pesantren Kedungturi di Losari Ploso yang didirikan oleh kiai Ahmad Syuhadak.

Kesulitan mengajak masyarakat untuk mengamalkan Doa Kautsaran, akhirnya kiai Muchammad Muchtar Muthi memiliki keinginan untuk mendirikan sebuah pondok pesantren. Sekitar tahun 1963, kiai Muchammad Muchtar Muthi bersama dengan para muridnya bergotong-royong memindahkan dan memperbaiki tempat wudhu dan sumur di masjid, yang semula berada di depan masjid dipindah ke samping kanan masjid. Masjid itu digunakan kegiatan pengajian umum secara rutin setiap hari Jumat malam Sabtu.

Sekitar tahun 1967, perbaikan masjid itu kembali dilakukan. Mengingat perkembangan murid-muridnya yang semakin hari semakin banyak, sedangkan tempat yang ada kurang memenuhi syarat dikarenakan bangunan yang ada hanyalah sebuah rumah keluarga dan masjid. Maka ia mempersiapkan lokasi yang akan didirikan pesantren secara tahap demi tahap. Mula-mula yang didirikan adalah sebuah gubuk. Letaknya kira-kira 150 m sebelah barat masjid. Gubuk itu terbuat dari bambu, beratapkan duduk (serat pohon aren berwarna hitam) menghadap ke Timur, ukuran 5 x 3 m. Gubug ini dibangun tahun 1968. Gubug inilah yang merupakan cikal bakal pesantren Majmal Bahrain. Adapun gubug ini diberi nama Gubug Maulana Malik Ibrahim.

Di belakang rumahnya ada tanah pekarangan yang luasnya kira-kira 0,5 hektar. Sebagian besar pekarangan itu ditanami pohon salak dan di sudutsudut banyak tumbuh rumpun bambu atau barongan. Di lokasi inilah pada tahun 1972 dibangun gedung bertingkat bernama Jamiatul Mudzakirin. Gedung itu dibiayai oleh kiai Muchammad Muchtar Muthi, sedangkan yang mengerjakan pembangunannya adalah murid-muridnya yang diselesaikan pada tahun 1973.

Setahun kemudian yakni tanggal 3 Januari 1974 dimulai pembangunan pondok untuk para murid. Pondok tersebut dibangun dengan bahan bangunan dari bambu, genting tanah liat dan alasnya memakai kayu jambe. Bentuk bangunan berupa rumah panggung setinggi 60 cm dan membujur dari barat ke timur, menghadap ke arah selatan. Ada satu kamar lagi yang di bangun terpisah. Letaknya di sebelah Timur makam kiai Ahmad Syuhadak. Bangunan pondok tersebut selesai tanggal 2 Mei 1974 yang diberi nama pondok pesantren Majmal Bahrain.

Nama-nama yang digunakan pada setiap kamar pondok adalah nama waliyullah yang telah berjasa besar dalam sejarah pesantren Indonesia. Kemudian bangunan ini dikenal dengan nama Gubug Walisongo. Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula bangunan-bangunan yang ada di pesantren Majmal Bahrain dengan penyiapan lahan yang cukup luas untuk lokasinya.

Riwayat penamaan Majmal Bahrain dimulai ketika kiai Muchammad Muchtar Muthi masih di Lamongan. Saat itu ia masih mengajar Madrasah Islamiyah di Lamongan. Pada suatu waktu ditahun 1952 ia membaca sebuah hadis. Terkesan dengan hadis tersebut, maka mulai tahun 1952 ia selalu memabaca surat Kahfi setiap hari Jumat. Surat Kahfi itulah yang ia baca berulang-ulang setiap hari Jumat. Namun anehnya, ketika membaca ayat yang ke-60 bergetarlah hatinya. Adapun ayatnya sebagai berikut:

Artinya: dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan, atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". 3

ka sampai kalimat Majmal Bahrain, hatinya bergetar. Padahal waktu itu belum ada rencana untuk mendirikan pesantren. Saat itu keadaan Ploso masih berupa sawah-sawah, masih seperti hutan. Setiap malam Jumat ia senantiasa membaca surat Kahfi yang mengandung rahasia yang sangat besar. Setelah itu kemudian timbul di dalam hatinya bahwa jika seandainya ada Pesantren di Losari Ploso Jombang, ia atau keluarganya bisa mendirikan pesantren maka akan diberi nama Majmal Bahrain. 

 Harapannya memberi nama tersebut karena berharap dari dua lautan itu yaitu lautan ilmu yaitu ilmu syariat dan ilmu hakikat muncul berlianberlian ruhaniyah. Ia juga berharap siapapun yang belajar di Majmal Bahrain bisa menjadi berlian-berlian yang bisa bersinar dimasyarakat. Sehingga dari pesantren Majmaal Bahrain inilah ia juga mengamalkan Doa Kautsaran bersama santri-santrinya yang bertempat tinggal di pondok pesantren tersebut. Tidak hanya berasal dari Losari saja melainkan di luar daerah juga banyak. Mengingat perkembangan pondok pesantren dan ajaran yang diajarkan mampu menarik peminat untuk belajar didalamnya.